Sore itu serombongan ibu-ibu terlihat memenuhi koridor Rumah Sakit Bunda. Berjalan kikuk sembari berbisik satu sama lain. Mereka berdelapan datang untuk menjenguk Bu Dwi, tetangga komplek yang baru saja melahirkan. Masalahnya mereka berdelapan baru pertama kali berkunjung ke rumah sakit bergedung tinggi seperti ini. Tak heran kalau mereka mereka merasa was-was, takut tak bisa keluar dari bangunan berlantai lima itu.
“Jeng, kata satpam tadi disuruh naik lift, kan?” celetuk Bu Anwar yang tampak paling menor.
“Iya, sih. Tapi, saya belum pernah naik lift,” seru Bu Marta, yang terlihat paling kalem.
“Ah, tadi katanya tinggal pencet angkanya. Trus buka atau tutup gitu aja!” sahut Bu Nelly yang paling muda.
“Ya udah. Kita coba aja, ya? Gak enak nih, kita kayak menuhin jalan.”
Spontan mereka melihat sekeliling. Beberapa tampak berhenti di dekat mereka berdiri. Sepertinya sedang antre naik lift.
“Bu Yanti, nanti aja!” Bu Marta menggamit lengan temannya. “Silakan dulu saja, Pak.” Bu Marta memberi kode pada teman-temannya untuk menepi.
“Kenapa malah disuruh duluan, Bu?” protes lainnya.
“Ssst. Saya mau niru cara mereka.”
“Oooh, hehehe.” Mereka lantas cekikikan bersama.
“Udah, Bu. Ayo, masuk!” Bu Marta lantas memencet tombol begitu semua rombongan sudah masuk lift.
Syuuut. Mendadak lift riuh beberapa saat. Tampak Bu Yanti memegangi kepalanya karena pusing.
“Halah, Bu Yanti. Masa iya naik lift aja mabuk?” Bu Yanti hanya tersipu.
Ting! Pintu lift terbuka lebar.
“Naah, benar ini, Bu. Alhamdulillah. Itu ruangannya!” Bu Marta semringah. Ketujuh temannya pun lega mereka tak salah jalan.
“Eh, tapi sandal kita mana, Bu Marta?” Bu Anwar celingukan ke arah lantai.
“Lo? Emang sandalnya pada dilepas? Astagfirullah.” Bu Marta menggelengkan kepala seraya tergelak. Ternyata cuma dirinya yang masih pakai sandal.
“Tadi pas masuk ya dilepas, Bu Marta,” sahut Bu Yanti.
Salah jalan sih, enggak. Cuma salah naruh sandal. Bu Marta terpingkal sendirian.
0