Siang itu sangat terik. Aku melangkahkan kaki pendek-pendek sembari bersenandung menuju lapangan. Kata tetanggaku Ibu sedang kerja di sana. Aku ingin menyusul Rani, adikku, yang ikut Ibu bekerja. Sekolahku sudah usai. Sudah waktunya aku bermain dengan Rani.
Dari jauh kulihat Ibu sedang membungkuk, membersihkan rumput dengan cangkul. Tampak Rani tidur nyenyak di punggung Ibu.

“Ibuuuu!” teriakku.
Ibu menegakkan punggungnya. Tersenyum sambil menyeka peluh. Ibu menghentikan pekerjaannya. Menaruh cangkul, lalu duduk menepi. Ibu melonggarkan gendongan, memangku Rani yang masih tidur.
“Ibu ngapain di sini?” tanyaku penasaran.
“Diminta Pak RT membersihkan rumput. Mau ditanami rumput baru katanya. Yang bagus.” Ibu meneguk air dari botol kusam yang dibawa dari rumah. Aku sampai menelan ludah melihat Ibu minum. Tenggorokanku terasa kering setelah lari dari rumah barusan.
“Ini minumlah, Nduk.” Ibu mengangsurkan botolnya padaku. Aku tersenyum senang.
“Aku di sini saja ya, Bu? Menemani Ibu,” kataku. Melihat Ibu sendirian membuat aku ingin menemaninya bekerja.
“Kasihan adikmu, Nduk. Kepanasan sejak tadi. Pulang saja, ya?”
“Ibu nggak capek?” tanyaku. Aku tahu Ibu jarang duduk diam di rumah. Sejak salat Subuh, biasanya tak tidur lagi. Belanja, memasak, mencuci baju, membersihkan rumah. Kadang Ibu mencuci dan menyetrika baju tetangga kami, lalu diberi upah. Atau juga dapat pekerjaan tak biasa seperti sekarang. Banyak sekali orang yang memberi pekerjaan pada Ibu.
“Kalau capek, ya, istirahat sebentar. Ibu senang dapat pekerjaan begini. Ini rezeki, Nduk. Semoga dengan membersihkan lapangan ini ibu ikut dapat berkah. Diniatkan untuk ibadah, bismillah.”
“Ibadah terus Ibu bilangnya. Ibadah itu salat dan ngaji itu, kan?”
Ibu tersenyum. “Kalau dalam agama kita, setiap perbuatan bisa kita niatkan ibadah, Nduk. Pokoknya sebelum mulai baca bismillah, berarti ibadah itu. Salat juga ibadah, ibadah wajib. Bersih-bersih rumput ini juga.”
Aku mengangguk saja. “Ibu kok tahu?”
“Mbah Kakung dulu yang bilang begitu.” Ibu menunduk. “Semoga Allah merahmati Mbah Kakung di alam kubur. Walaupun Mbah Kakung sudah ndak ada, kalau kita mengamalkan nasihatnya insyaallah dapat pahala juga, Nduk. Aamiin.” Ibu meneteskan air mata.
“Maaf Ibu jadi sedih.”
“Ibu ini ndak punya banyak ilmu, Nduk. Miskin ilmu. Makanya nanti kamu dan adik harus rajin belajar biar punya banyak ilmu. Tolong doakan ibu dan bapak, ya. Doa anak salihah itu penolong bapak dan ibu kalau sudah meninggal nanti.”
Aku mengangguk mendekati Ibu. Kupeluk lengannya. Aku jadi ingin menangis juga. Ingat Bapak yang sudah meninggal dunia setahun lalu.
“Aku, mau, Bu. Insyaallah,” balasku. Begitulah kata Pak Ustaz kalau seorang muslim berjanji. Semoga aku bisa membahagiakan Ibu, Ya Allah.