Relasi Emosi Anak dan Orang Tua

Alhamdulillah, Sabtu sore, 27 Agustus 2022 lalu, dapat rezeki ikut Kajian bersama Kang Zein Permana dengan tema “Relasi Orang Tua dan Anak”.

Kajian diawali dengan sapaan Kang Zein yang meminta para peserta untuk mengingat kembali momen kelahiran anak pertama. Momen di mana terdengar pertama kali tangisan bayi yang mengubah status pasangan suami istri menjadi ibu dan ayah. Kang Zein meminta para peserta membayangkan situasi yang dirasakan kala itu.

Ada rasa hangat menjalar di dalam dada begitu kulit sangat bayi yang tengah menangis bersentuhan dengan ibunda untuk pertama kali. Anak yang semula menangis, begitu dipeluk atau disusui, di situlah terjadi transfer relasi emosi. Perasaan aman dan nyaman anak membuat ada kelekatan dengan orang tua. Maunya terus bersama-sama dengan ayah bunda.

Itulah perasaan cinta sejati yang dirasakan orang tua kepada anak pertama ketika lahir. Relasi emosi orang tua itu sejatinya terjadi sejak dalam kandungan, tetapi baru terkoneksi saat anak lahir, terutama dengan sang ibu.

Selanjutnya, Kang Zein meminta peserta kembali ke alam realita masa kini. Sekarang, bayi itu telah tumbuh besar menjadi anak-anak yang semakin banyak kemampuannya, banyak maunya, juga ulah dan tingkahnya. Semakin besar, anak-anak mungkin semakin sering membuat orang tua kesal.

Nah, ketika anak sedang berulah, rasa haru dan hangat saat momen kelahirannya dulu jadi terlupakan. Makin kesal orang tua pada anak, anak juga semakin menyebalkan. Betul, begitu? Itulah relasi emosi.

Sebagai orang dewasa, Ayah dan Bunda tentu memiliki banyak relasi selain dengan anak. Bisa dengan pasangan, orang tua, mertua, teman kerja, tetangga, customer, dan banyak lagi. Masing-masing relasi itu bisa jadi menimbulkan emosi yang berbeda. Sementara bagi anak, dunianya adalah kita, orang tuanya. Maka jika Ayah Bunda kurang mampu menyalurkan emosi tersebut, anak pun bisa terpapar emosi tersebut.

Namun, faktanya tidak sedikit orang tua yang justru meminta kepada anak untuk mengerti dan memahami ayah bundanya. Menurut Kang Zein, itu tidak adil. Emosi yang terjadi pada anak bisa jadi karena terpapar dari ayah atau ibunya, bukan sebaliknya. Relasi emosi antara orang tua dan anak itu masih ada meskipun tidak sehangat saat kelahiran mereka dulu.

Nah, jika itu terjadi berulang kali dan tidak terselesaikan, akhirnya lama-lama menumpuk dan mengakibatkan miskomunikasi. Maka jangan heran jika kelak saat anak semakin besar jadi sulit diajak berkomunikasi. Kalau sudah begitu, orang tua jadi kebingungan untuk membimbing dan mengarahkan. Sayang sekali, bukan?

Jadi, jika anak-anak membuat kesal sebaiknya Ayah Bunda koreksi diri terlebih dahulu. Sebab boleh jadi anak-anak itu bertingkah akibat paparan emosi dari kita sendiri.

Kang Zein juga mengungkapkan kadang kita sebagai orang tua suka kurang amanah memperlakukan titipan Allah. Anak adalah salah satu titipan Allah. Jadi, kita sebagai orang tua sudah semestinya menerima dan menjaga titipan Allah SWT dengan baik.

Kemudian, Kang Zein membahas 3 perasaan yang masuk dalam SIPETA volume ke-2, yaitu Bosan, Jijik, dan Kecewa.

Bosan.
Bosan itu bukan tanda kalau anak kurang kerjaan, tetapi bosan itu tanda kita diundang oleh anak dalam kegiatan yang dia lakukan. Bosan itu undangan buat orang tua. Jadi saat anak mengutarakan kalau dia merasa bosan, sebaiknya orang tua merespon dengan empati. Lebih baik lagi jika kemudian mau beraktivitas dengan mereka.

Jika anak menyatakan bosan, kemudian orang tua merespon dengan uring-uringan atau jengkel maka tidak terjadi relasi emosi. Anak tidak akan menjadi bahagia, justru bisa ikut jengkel juga. Perlu kerja sama antara Ayah dan Bunda dalam merespon rasa bosan anak agar berakhir bahagia.

Jijik.
Berkaitan dengan perasaan “Jijik”, Kang Zein menitipkan pesan kepada para ayah bunda. Kalau ingin menanamkan value pada anak, itu bukan melalui ceramah panjang, melainkan lewat ekspresi kita saat jijik pada sesuatu. Orang tua sebaiknya mengutarakan jijik pada perbuatan atau perilaku, tetapi jangan kepada personal anak. Bukan memberi label jijik atau jorok ke anaknya, tapi pada bagian tubuhnya atau perbuatannya.

Kecewa.
Orang tua perlu mengajari anak punya keinginan, tapi ajari juga bahwa tidak semua keinginan itu bisa tercapai. Perlu juga kita ajarkan agar mereka jangan pernah menyematkan keinginan itu pada orang lain.

Boleh punya keinginan, lalu berikhtiar. Jangan sampai anak memiliki keinginan lalu menunggu orang lain mewujudkannya. Misalnya menunggu dibelikan, menunggu ditraktir, menunggu dibelikan, bukan seperti itu.

Ajak anak menghadapi kecewa saat tidak mendapatkan keinginannya dengan cara berusaha menggunakan hal-hal yang dimilikinya. Rasa kecewa itu membangun anak untuk berusaha agar bisa melakukan ikhtiar terbaik untuk mencapai keinginannya.

Sadari, kenali, lalu kelola emosi. Relasi emosi dengan anak besar sekali pengaruhnya dari bagaimana kita, para oreng tua, mengekspresikan emosi kepada anak. Jadi, Ayah Bunda, mari berikhtiar memperbaiki diri agar kita bisa lebih baik dalam merespon emosi kepada siapa saja. Jika kita bisa merespon emosi dengan baik, insyaallah relasi emosi kita dengan anak pun bisa demikian. Semoga bermanfaat.

0