Membiasakan Kebaikan
Judul di atas itu terlihat biasa dan mudah untuk dilakukan. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Membiasakan kebaikan itu butuh proses berkelanjutan dan waktu yang lama. Dan tentu saja membutuhkan komitmen pelakunya.
Ada sebuah hal menarik yang saya temui di tempat kerja saya. Saya bekerja sebagai staf administrasi di salah satu sekolah dasar swasta di Surabaya. Suatu hari saat saya hendak ke kamar mandi, dan melewati tempat wudhu, ada beberapa siswa putri yang masih berwudhu. Mereka tampak tergopoh-gopoh karena khawatir terlambat sholat berjama’ah. Begitu selesai, mereka menutup kran air sebisanya lalu bergegas berlarian ke kelas. Tapi ada seorang siswi yang tetap berjalan tenang dan menghampiri sebuah kran air yang belum tertutup rapat. Airnya masih mengalir walaupun sedikit. Kemudian ditutupnya kran air itu sampai rapat, baru ia meninggalkan tempat wudhu menyusul teman-temannya tadi.
Apa yang terjadi itu tampaknya sederhana. Tapi buat saya itu adalah hal yang mengagumkan. Ketika teman-temannya usai berwudhu dan pergi begitu saja tanpa peduli apakah sudah menutup kran dengan benar, gadis kecil tadi peduli. Ia memilih tinggal untuk menutup dulu kran yang masih sedikit terbuka. Dan menurut saya, perilaku ini bukan perilaku yang instan. Perilaku ini lahir dari kebiasaan yang baik. Mungkin di rumah, orang tuanya selalu membiasakan untuk menutup kran air dengan benar setiap selesai berwudhu. Sepertinya hal yang biasa bukan? Tetapi ketika kebiasaan yang baik itu menjadi sebuah rutinitas, dilakukan secara terus-menerus maka ia akan menjadi lekat dengan pelakunya. Jadi perilaku sehari-harinya pun ikut baik. Ketika seseorang biasa melakukan hal yang baik, kemudian dihadapkan pada pilihan yang tidak baik, ia akan merasa tidak nyaman. Di sinilah manfaat kebiasaan baik itu menjadi self-control. Kebiasaan yang baik menjadi penjaga bagi pelakunya, agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik. Bahkan, bisa jadi membawa kebaikan untuk orang lain di sekitarnya.
Contohnya siswi yang menutup kran air tadi. Mungkin teman-temannya tidak tahu dan tidak peduli atas apa yang dilakukannya. Tapi ketika saya kebetulan ada di sana, dan melihatnya, dia sudah menularkan virus kebaikannya pada saya. Saya tersentuh, kagum, dan menjadi tergerak untuk melakukan kebaikan serupa. Hal lainnya lagi adalah, ketika ia menutup kran yang hanya mengalir sedikit, ia telah membawa manfaat untuk lingkungan. Ia tidak menyia-nyiakan air bersih. Itu adalah wujud mensyukuri nikmat. Bayangkan kalau semua anak selalu menutup kran dengan benar, ada berapa liter air bersih yang terselamatkan? Itu hanya sekadar seorang siswa yang menutup kran air dengan benar, manfaatnya sudah begitu luar biasa. Apalagi, misalnya, jika semua orang menggunakan air seperlunya. Tentu manfaatnya menjadi luar biasa besar dan dapat dirasakan oleh banyak orang. Subhanallaah, indahnya berbuat baik.
Satu hal yang menggelikan buat saya, terkadang ketika ada seseorang tengah berbuat baik, justru jadi bahan tertawaan bagi orang lain yang tidak berbuat apapun. Ketika ada seseorang memungut sampah yang tergeletak di tengah lapangan, ada yang menyeletuk sambil tertawa, “sampah aja diurusin!” Nah lho, lebih baik mana, mengurusi sampah atau mengurusi kebaikan orang lain? Hehehe..
Dari siswi tadi saya belajar bahwa kebaikan itu bisa kita mulai dari hal yang kecil, hal sepele yang ternyata memberikan efek begitu besar, yang bahkan tidak terpikirkan olehnya. Yang juga penting adalah komitmen kita untuk terus melakukan hal-hal yang baik. Insya Allah, ketika kita memiliki niat yang baik, istiqomah menjaganya, maka kebaikan itu akan membawa “teman-temannya”. Wallahu a’lam, semoga catatan kecil ini bisa memberikan manfaat dan menularkan kebaikan kepada pembacanya.
Semangat berbuat baik ya, dan.. be positive! 😉